Negeri ini pernah mengalami masa yang sangat kelam,
yaitu peristiwa pengkhianatan PKI. Kita telah mengenal peristiwa Gerakan 30
September (G30S) yang menggugurkan para perwira
tinggi Angkatan Darat.
Peristiwa ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun juga di Yogyakarta. Jumlah
korban pahlawan nasional yang
gugur ada 10 dan mereka diberikan tanda penghormatan Pahlawan Revolusi dan
Anumerta (gelar penghargaan khusus untuk angkatan bersenjata yang berjasa).
1. Jenderal
Anumerta Ahmad Yani
Jenderal Ahmad
Yani lahir di Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922. Beliau mendapatkan
pendidikan formal di HIS (sekolah setingkat SD), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat
Sekolah Menengah Pertama) dan AMS (Algemne Middelberge School/setingkat
Sekolah Menengah Atas). Ahmad Yani mengawali karir militernya dengan mengikuti
wajib militer oleh pemerintahan Belanda di Malang. Ketika pendudukan Jepang,
Ahmad Yani bergabung bersama PETA.
Prestasi
Ahmad Yani di bidang militer cukup mengagumkan. Diawali dengan menahan Agresi
Militer pertama dan kedua Belanda, dilanjutkan dengan mengalahkan pemberontak
DI/TII, Operasi Trikora di Papua Barat dan Operasi Dwikora
menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Ketika menjabat sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani menolak usul PKI yang menginginkan
pembentukan Angkatan Kelima yaitu dipersenjatainya buruh dan tani. Sehingga
Ahmad Yani menjadi target penculikan dan pembunuhan PKI dalam Gerakan 30
September. Tubuhnya yang penuh luka tembak, dibawa dan dibuang ke sumur di
Lubang Buaya.
2. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto
Lahir di
Purwokerto pada tanggal 2 Juni 1920, Letnan Jenderal Suprapto menyelesaikan
pendidikan formalnya di MULO dan AMS Yogyakarta. Suprapto sering berpindah
tugas. Mulai di Semarang sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial
(T&T) IV/ Diponegoro, ditarik ke Jakarta sebagai Staff Angkatan Darat dan
kembali lagi ke Kementerian Pertahanan. Setelah pemberontakan Permesta
(Perdjuangan Rakjat Semesta) padam, Suprapto bermarkas di Medan
sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera.
Suprapto
merupakan salah satu Perwira Tinggi yang menolak D. N. Aidit ketika berpendapat
membentuk Angkatan Kelima. Sehingga pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965,
Suprapto pun menjadi salah satu korban penculikan dan pembunuhan PKI.
3. Letnan Jenderal Anumerta M.T.Haryono
Letnan Jenderal
M. T. Haryono lahir di Surabaya pada tanggal 20 Januari 1924. Ayahnya
seorang asisten wedana di Gresik. Haryono mendapatkan pendidikan formal
di ELS (setingkat Sekolah Dasar), HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
dan Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan
Jepang) di Jakarta, namun berhenti di tengah jalan. Ketika di
Jakarta, Haryono bersama pemuda lain berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Dilanjutkan gabung ke TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada peristiwa Gerakan 30
September, Letnan Jenderal M. T. Haryono menjadi salah satu korban kebiadaban
PKI.
Jenderal
bintang tiga ini sangat cerdas. Haryono seperti Bung Hatta yang fasih beberapa bahasa asing yaitu Belanda,
Inggris dan Jerman. Sehingga Haryono sering menjadi perwira penyambung lidah
dalam setiap perundingan. Termasuk ketika KMB (Konferensi Meja Bundar), Haryono
hadir sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
4. Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman
Letnan Jenderal
Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan Letjen S. Parman merupakan salah
satu Pahlawan Revolusi. Parman diculik dan dibunuh PKI karena menolak usul D.
N. Aidit tentang dipersenjatainya buruh dan tani atau disebut Angkatan Kelima.
Terlebih lagi bahwa Parman merupakan tentara intelijen yang tahu tentang
gerak-gerik PKI.
Parman
yang lahir pada tanggal 4 Agustus 1918 di Wonosobo mendapatkan
pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
Parman pun masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran, namun tidak sampai mendapatkan
gelar dokter akibat Jepang telah menduduki wilayah Indonesia.
5. Mayor Jenderal Anumerta D.I.Pandjaitan
Mayor Jenderal
D. I. Pandjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara pada tanggal 19 Juni 1925.
Pandjaitan menyelesaikan pendidikan formalnya hingga Sekolah Menengah Atas.
Ketika Jepang tiba di Indonesia, Pandjaitan mengikuti latihan Gyugun dan ditugaskan
menjadi anggota Gyugundi
Pekanbaru.
Setelah
kemerdekaan, Pandjaitan bersama pemuda lainnya membentuk TKR. Karirnya di TKR
terus naik, mulai dari komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan
Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, menjadi Kepala Staf Umum IV
(Supplay) Komandemen Tentara Sumatera dan menjadi Pimpinan Perbekalan
Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan yang terakhir
adalah Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (sebelumnya masih banyak
jabatan yang diembannya). Sebagai Perwira Tinggi, Pandjaitan menjadi target
penculikan dan pembunuhan oleh PKI.
6. Mayor Jenderal Anumerta Sutoyo
Siswomiharjo
Mayor Jenderal
Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen pada tanggal 28 Agustus 1922. Beliau
menyelesaikan belajar formalnya sebelum Jepang menduduki Indonesia. Pada tahun
1945, Sutoyo gabung militer sebagai Polisi Tentara Keamanan Rakyat yang
merupakan cikal bakal Polisi Militer. Awal karir Sutoyo di Polisi Militer yaitu
sebagai ajudan Kolonel Gatot Soebroto, Komandan Polisi Militer. Karirnya terus
naik hingga dipercaya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
Dini hari
tanggal 1 Oktober 1965, Sutoyo diculik oleh PKI dan dibawa ke markas
mereka di Lubang Buaya. Di sana Sutoyo dibunuh dan tubuhnya dibuang ke
sumur tak terpakai.
7. Kapten CZI Anumerta Pierre Tendean
Kapten Pierre
Tendean merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution yang lahir pada tanggal
21 Februari 1939. Tendean mengawali karir militernya
menjadi intelijen. Ditugaskan sebagai mata-mata ke Malaysia sehubungan
dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Pada
peristiwa G30S, Pierre yang disangka Jenderal A. H. Nasution ditangkap dan
dibawa oleh PKI ke Lubang Buaya. Disana Pierre dibunuh dan dimasukan ke sumur
tak terpakai bersama 6 Perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya. Pierre pun
dianugerahi Pahlawan Revolusi.
0 komentar:
Posting Komentar